Postcard Sender

Saturday, December 24, 2016

Critical Eleven - Ika Natassa : a review

Judul: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Bahasa: Indonesia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2015
Tebal: 344 hlm.
ISBN: 9786020318929


Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Sebulan kemudian bertemu kembali, jatuh cinta dalam tujuh hari dan menikah setelah satu tahun pacaran.

Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil.

Tema yang diangkat buku ini sebenarnya berat tentang kehilangan, memaafkan, dan kesempatan kedua. Tapi penulis berhasil memaparkannya dengan ringan disertai bumbu-bumbu romantis yang bikin baper. Ditambah referensi-referensi yang menarik di sana-sini.

Saya memutuskan membeli buku ini karena di sinopsisnya diceritakan tentang bandara. Tempat yang sejak tahun 2007 menjalin hubungan love-hate dengan saya. Bagi siapapun yang pernah menjalani hubungan jarak jauh dan juga bagi orang perantauan yang satu satunya moda transportasi untuk pulang adalah pesawat, pasti mengerti bahwa bandara mempunyai kesan tersendiri di hati.

Kembali ke buku ini, ternyata saya kecele. Fokus di buku ini bukan tentang bandara atau mengenai cinta jarak jauh. Walau memang kedua hal tersebut merupakan poin penting dari cerita. Bandara diceritakan merupakan tempat favorit Anya sebagai seorang frequent flayer yang merupakan resiko dari pekerjaanya sebagai konsultan management, dan tempat cerita ini dibuka. Sedangkan hubungan jarak jauh dilakukan mereka berdua karena pekerjaan Ale sebagai oil engineer yang bekerja 5 minggu di lokasi tepatnya di teluk Meksiko dan 5 minggu libur yang di habiskannya di Jakarta setelah menikah.

Dengan alur kilas balik diceritakan dari sudut pandang bergantian antara Ale dan Anya, tentang bagaimana mereka bertemu, kenangan - kenangan manis mereka, sampai tragedi yang membuat mereka berada pada keadaan  yang menjadi titik fokus cerita, mereka menjadi seperti orang asing satu sama lain dan harus bersandiwara di depan keluarga mereka bahwa rumah tangga mereka baik - baik saja.

Penulis berhasil membawa pembaca penasaran dan menerka-nerka apa yang dilakukan Ale sehingga Anya begitu tersakiti dan membuat rumah tangga mereka diambang kehancuran. Tetapi ketika saya akhirnya sampai pada bab ketika semuanya terungkap, jalan cerita buku ini kemudian menjadi membosankan. Ceritanya kemudian menjadi lambat, berputar - putar dengan maksud yang sama dan akhir cerita yang mudah di tebak. Hampir saja saya tidak meneruskan membacanya sampai habis. Tapi untung saja buku ini saya baca dalam perjalanan ke kampung suami yang ditempuh dalam waktu 3 jam dengan kereta dari Budapest. Saya tidak punya pilihan lain untuk menghabiskan waktu selain dengan buku ini.

Setelah mengetahui penyebab semuanya, saya tidak terlalu bersimpati lagi terhadap karakter Anya. Dia terlalu keras kepala dan seorang drama queen. Anya sebenarnya mengakui apa yang dilontarkan suaminya adalah benar. Sehingga sebenarnya yang tidak bisa dia maafkan adalah dirinya sendiri. Di sisi lain Ale digambarkan sebagai suami yang masih sangat mencintai istrinya dan berusaha dengan berbagai cara agar Anya dapat memaafkan dan menerima dirinya kembali. Peristiwa - peristiwa yang nyaris membuat mereka merasa akan kehilangan satu sama lain menjadi titik pencerahan bahwa mereka belum siap untuk berpisah.

Kenangan - kenangan  tentang kisah cinta mereka di ceritakan penulis dari sudut pandang Anya dan Ale bergantian dengan manis dan romantis membuat saya senyum - senyum sendiri.

Selain itu gaya bahasa yang campur aduk antara Bahasa Inggris dan Indonesia sesaat membuat otak saya kebingungan apakah ini buku bahasa Indonesia atau buku bahasa Inggris. Susah dijelaskan bagaimana rasanya.. seperti otak saya yang kebingungan memutuskan apakah Conchita Wurst* seorang perempuan atau laki - laki ketika pertama kali melihatnya..

Berkaitan judul yang diberikan penulis Critical Eleven saya sedikit kecewa karena awalnya judul dan sinopsis mengenai sebelas menit paling kritis dalam dunia penerbangan ini yang membuat saya tertarik, tetapi ketika selesai membaca buku ini, saya menemukan bahwa 11 menit paling kritis ini seperti hanya sebuah pembuka cerita yang disisipkan agar sesuai dengan judulnya.

Hal - hal lain yang sedikit mengganggu bagi saya adalah penggambaran karakter Ale yang bisa dikatakan seorang muslim yang taat tapi setengah - setengah dalam penggambarannya. Ale, selalu solat lima waktu ketika berada di rig tempatnya bekerja sebagai "tukang minyak". (Awalnya saya tidak terlalu ngeh dengan hal itu ketika Ale menceritakan kesehariannya di rig dengan jadwal rutin lapor bos besar dari pertama ketika dia baru bangun tidur sampai hendak kembali tidur). Tapi dia memelihara anjing di rumah dan tampaknya terbiasa dengan bar hopping, atau ketika Anya di ceritakan sedang minum red wine dan kekesalannya kepada Jakarta karena untuk segelas Wine di sebuah restauran dia harus berjibaku dengan kemacetan Jakarta. Mungkin penulis bermaksud menggambarkan keluarga muslim liberal modern masa kini yang tetap rutin menjalankan ibadah agama sementara tetap beriringan dengan kehidupan modern kota besar yang diakui atau tidak, ada hal-hal yang tidak sesuai dengan  ajaran agama Islam.

Ini pertama kalinya saya membaca buku karya Ika Natassa. Saya sebelumnya tidak mengetahui tentangnya. Setelah habis membaca buku ini saya googling dan baru mengetahui bahwa buku ini cukup populer sampai terjual 11.111 dalam waktu sebelas menit di awal penerbitannya.. wow.


*Conchita Wurst penyanyi asal Austria pemenang Eurovision song contest 2014 yang berpenampilan wanita cantik berjanggut dan berkumis.