Postcard Sender

Thursday, April 14, 2011

Mr. X : Seorang Pengungsi

Sebut saja dia Mr. X. Seorang laki-laki berumur akhir 30 - awal 40-an ( Saya mungkin salah menebak umurnya. Seseorang yang telah banyak makan asam garam sering tampak lebih dewasa dari usia sebenarnya). Asal dari sebuah negara di Timur Tengah. Pakaiannya necis layaknya seorang pebisnis, lengkap dengan rompi, dasi dan jas. Siapapun tak akan menyangka bahwa dia seorang pengungsi. Tapi tambahkan kata "politik' dibelakangnya maka gambaran dia menjadi pas :  Mr. X,  a political refugee.

Malam itu sambil menegak minumannya dia bercerita tentang kisah hidupnya yang membawanya ke sini. Sebuah kisah yang hampir terdengar seperti cerita dari sebuah film atau buku yang saya baca. Sebuah kisah nyata yang mungkin hanya pernah saya dengar dari berita - berita di TV dan surat kabar. Sebuah cerita yang tampak berbeda ketika mendengarnya dari seseorang yang mengalaminya langsung.

Mr. X seorang pengusaha, memimpin sebuah perusahaan berkaryawan berjumlah ratusan dan juga pengajar di sebuah universitas. Ia hidup lebih dari cukup. Namun semuanya berubah ketika pemilihan di negaranya berlangsung. Ia menyebutnya "That f**ing election". Dan itulah awal dari segalanya..

Mr.X, salah satu dari orang-orang yang tidak puas dengan penguasa di negaranya saat itu. Ia ikut berdemonstrasi menentang pemerintahan dan entah apa lagi yang telah dilakukannya. Ia tidak bercerita banyak soal hal ini. Tapi siapapun bisa membayangkan apa kira-kira yang menjadi alasan hingga sekelompok orang berpikir untuk mengenyahkannya. Melihat kondisi yang tidak kondusif lagi ia sudah memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Tapi beberapa bulan sebelum rencananya terlaksana, sekelompok orang menyerang rumahnya. Mr. X berhasil melarikan diri sampai ke sebuah negara . Ternyata kelompok yang mengingcarnya mengejar sampai ke negara itu. Sekali lagi, ia berhasil menyelamatkan diri. Hanya berbekal barang seadanya dalam sebuah backpack ia menyusuri jalan di malam hari menghindar dari kejaran. Ia sampai di benua Eropa tanpa surat-surat dan menyebrang diam - diam ke Hongaria. Di negara ini daya tahan tubuhnya sudah mencapai batas. Ia pingsan di tengah ladang. Seorang petani kemudian menolongnya dan membawanya ke polisi. Itulah awal dia menjadi pengungsi di Hongaria.

Menurutnya itulah hidup. Siapapun bisa memilih untuk terus tidur dan membiarkan semuanya tetap sama atau bangun dan berjuang meraih apa yang dicita-citakan. Sebuah filosofi hidup yang patut diacungkan jempol.

Ketika di tanya apakah ia menyesali perbuatannya, dia menjawab tanpa ragu ragu : No, I never regret. I'd do it again..a thousand times!

 ................

Malam telah larut, ponsel telah berdering berkali-berkali menyampaikan keresahan di seberang sana.. Ah sudah waktunya pulang. Lagi, sebuah cerita anak manusia untuk direnungkan dan selalu berakhir pada kesimpulan yang sama:  betapa beruntungnya hidupku selama ini... Alhamdulilah ya Allah..

No comments:

Post a Comment